Kelemahan Kapitalisme

Senin, 14 Desember 2009

Pertama, pandangan epistemologinya yang positivistik mekanistik. Positivisme yang memisahkan fakta dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut fenomena fakta dan mengabaikan nilai, terbukti sudah ketidakmampuannya menjelaskan perkembangan sains modern dan kritikan dari fenomenologi hermeneutik (human sciences). Pola pikir positivistik hanya satu dimensi, yaitu dialektika positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi kritis manusia untuk menari makna-makna tersembunyi di balik fenomena-fenomena. Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1991) berkata: "... Kapitalisme, yang didorng oleh teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua ruang sosial kita; telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis. Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi, yaitu kemampuannya berpikir negatif mengenai sistem, dan dengan memaksakan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui iklan, kendali pasar, dan media. Maka, kebebasan itu sendiri menjadi alat dominasi, dan akal menyembunyikan sisi gelap irasionalitas..."


Kedua, berkaitan dengan yang pertama, asumsi antropologis yang dianut kapitalisme adalah pandangan reduksionis satu dimensi manusia yang berasal dari rasionalisme Aufklarung. Temuan alam bawa sadar psikoanalisis menunjukkan bahwa banyak perilaku manusia tidak didorong oleh kesadaran atau rasionalitas, melainkan oleh ketidaksadaran dan irasionalitas. Asumsi kapitalisme yang mengandaikan bahwa distribusi kekayaan akan terjadi dengan sendirinya bila masyarakat telah makmur (contoh: konsep trickle down effect) melupakan aspek irasionalitas manusia yang serakah dan keji. Dorongan yang tidak pernah puas menumpukkan kapital sebagai watak khas kapitalisme merupakan bentuk patologis megalomania dan narsisisme.


Ketiga, keserakahan mengakumulai kapital berakibat pada eksploitasi yang melampau batas terhadap alam dan sesama manusia, yang pada gilirannya masing-masing menimbulkan krisis ekonologis dan dehumanisasi. Habermas (1988) menyebutkan kapitalisme lanjut menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis (gangguan sistem personaliti), dan ketidakseimbangan internasional.


Keempat, problem moral. Bernard Murchland (1992), seorang pembela gigih kapitalisme, mengakui bahwa masalah yang paling serius yang dihadapi kapitalisme demokratis adalah pengikisan basis moral. Ia lalu menoleh ke negara-negara Timur yang kaya dengan komponen moral kultural. Atas dasar problem etis inilah, maka Mangunwijaya (1998) dengan lantang berkata: "... ternyatalah, bahwa sistem liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi baru dan diperlunak sekalipun, dibolak-balik diargumentasi dengan fasih ilmiah seribu kepala botak, ternyata hanya dapat berfungsi dengan tumbal-tumbal sekian milyar rakyat dina lemah miskin di seluruh dunia, termasuk dan teristimewa Indonesia...."


Kelima, implikasi dari praktek mengkomoditikan segenap ide-ide dan kegiatan-kegiatan sosial budaya, maka terjadilah krisis makna yang pada gilirannya menimbulkan krisis motivasi. Habermas (1988) mengatakan bahwa pada tataran sistem politik, krisis motivasii ni menimbulkan krisis legitimasi, atau menurut istilah Heilbroner (1991) dengan krisis intervensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar